Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Malam dan Setetes Embun

Pelesiran jalan, nikmat tak ayalnya penantian, padamu hangat ku rasa malam itu meski tanpa mantel rajutan meski angin terus membisikan getaran Ini waktu rupanya tak kunjung usai sebab penantian masih nikmat tuk diakoni dan kamu pun enggan jemu menunggu pagi karya : Dara Minanda 2017

NILAI KESOPANAN DALAM BUDAYA TIONGHOA DILIHAT DARI CERITA SESOEDANJA MATI KARYA KOO HENG NGO

Novel mulai berkembang di Indonesia kira-kira pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 (Rosidi dalam Skripsi Edwina S.T. 1981 : 1). Bahasa yang digunakan dalam novel mulanya ditulis dalam bahasa sehari-hari atau yang biasa disebut dengan istilah bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Pasar menurut Edwina dalam skripsinya, merupakan bahasa yang digunakan oleh pengarang bacaan liar, dan hasil karyanya disebut dengan istilah bacaan liar. Salah satu karya yang tergolong dalam bacaan liar adalah karya Koo Heng Ngo yang berjudul Sesoedanja Mati .             Karya Koo Heng Ngo ini menceritakan mengenai kehidupan rumah tangga keluarga Tionghoa yang tidak didasari dari rasa cinta. Tjoe Liang dan Lien Nio adalah sepasang suami isti yang sudah tiga tahun menikah namun harus terpisah di tengah jalan karena sang istri, Lien Nio meninggal dunia lantaran sakit keras. Lien Nio meninggal sesaat setelah melahirkan anak pertamanya.   ...

Satu Daun Terakhir

Sampai di mana kisahnya? ku suruh kau menunggu (itu pintamu bukan?) lantas ku tunggu sampai dara hilang terbang? namun sayapnya tak kepak, meminta untuk kembali pulang. karya: Dara Minanda 2015

Waktu,

andai waktu Mati tidAk satu pun kenangan yang akan digali Tak ada sisa elegi tak ada yang abadI karya: Dara Minanda 2015.

Rindu,

biar malamku tak berindu, dan alas kepala tak lagi penuh dengan bisikmu jangan saja kau datang lalu menjelma menyisipkan nama pada setangkai bunga biar malamku gulita, tanpamu menerangi dengan suatu apa biar terlelapku seperti sedia kala, seperti sebelum yang tak pernah ada. karya: Dara Minanda 2015