NILAI KESOPANAN DALAM BUDAYA TIONGHOA DILIHAT DARI CERITA SESOEDANJA MATI KARYA KOO HENG NGO
Novel mulai
berkembang di Indonesia kira-kira pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 (Rosidi
dalam Skripsi Edwina S.T. 1981 : 1). Bahasa yang digunakan dalam novel mulanya
ditulis dalam bahasa sehari-hari atau yang biasa disebut dengan istilah bahasa Melayu
Pasar. Bahasa Melayu Pasar menurut Edwina dalam skripsinya, merupakan bahasa
yang digunakan oleh pengarang bacaan liar, dan hasil karyanya disebut dengan
istilah bacaan liar. Salah satu karya yang tergolong dalam bacaan liar adalah
karya Koo Heng Ngo yang berjudul Sesoedanja
Mati.
Karya Koo
Heng Ngo ini menceritakan mengenai kehidupan rumah tangga keluarga Tionghoa
yang tidak didasari dari rasa cinta. Tjoe Liang dan Lien Nio adalah sepasang
suami isti yang sudah tiga tahun menikah namun harus terpisah di tengah jalan
karena sang istri, Lien Nio meninggal dunia lantaran sakit keras. Lien Nio
meninggal sesaat setelah melahirkan anak pertamanya.
Meskipun
sudah tiga tahun menikah, sampai Lien Nio mati, Lien Nio tidak pernah memiliki
rasa cinta sedikit pun kepada suaminya. Lain halnya dengan Tjoe Liang, dia
begitu mencintai Lien Nio namun Lien Nio tak pernah memiliki rasa yang sama
kepadanya. Lien Nio terpaksa menikah dengan Tjoe Liang karena sudah dijodohkan
oleh ibu Lien Nio. Lien Nio begitu menghormati dan menyayangi ibunya, dan
karena itulah Lien Nio mau untuk dinikahkan dengan Tjoe Liang. Lien Nio yang sangat berbakti kepada orang
tuanya harus merelakan segala mimpinya. Dia bahkan harus merelakan seseorang
yang dicintainya karena statusnya yang sudah menjadi istri dari Tjoe Liang.
Bertolak
dari novel tersebut, penulis ingin menganalisis unsur intrinsik yang ada dalam
novel. Penulis juga ingin melihat bagaimana nilai-nilai kesopanan yang dipegang
oleh orang Tionghoa dilihat dari novel Sesoedanja Mati karya Koo Heng Ngo.
Unsur intrinsik yang akan penulis bahas di antaranya adalah tema, latar, tokoh,
dan amanat.
Jika
membaca novel Sesoedanja Mati karya Koo Heng Ngo, dapat terlihat bahwa tema yang
diangkat oleh Koo Heng Ngo adalah mengenai cinta yang tak sampai. Tema ini
terlihat dari jalan cerita yang menggambarkan bagaimana Tjoe Liang yang mencoba
untuk terus mendapatkan perhatian dari istrinya, Lien Nio. Meskipun Tjoe Liang
tahu istrinya tidak mencintainya, melainkan mencintai seorang penulis yang bernama
Joe Lian, Tjoe Liang tetap berusaha untuk sabar dan menuruti apa yang dikehendak
istrinya. Hingga akhirnya Lien Nio mati, Tjoe Liang tetap tidak mendapatkan
tempat di hati istrinya. Tema ini dapat dilihat dari kutipan cerita berikut.
“Tapi Lien Nio jang hatinja ada terisi dengen itoe Joe Lian,
soeda roba itoe omongan djadi berhoeboeng dengen itoe penjewa roema baroe....”
(Sesoedanja Mati : 30)
Latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. (Abrams dalam Faruk, 2010 :
64). Ada tiga latar yang digunakan dalam
cerita Sesoedanja Mati karya Koo Heng
Ngo. Latar pertama adalah latar waktu. Cerita ini diawali dengan latar waktu
malam hari, yaitu saat Lien Nio melahirkan anak pertamanya dan dengan kondisi
kritis. Kutipan yang menunjukan latar waktu dalam cerita ini adalah sebagai
berikut.
“Keadaan waktoe mengoendjoek djam 9 malem.” (ibid : 7)
Kedua adalah latar tempat. Ada
beberapa latar tempat yang digunakan dalam cerita Sesoedanja Mati karya Koo Heng Ngo, namun yang menjadi titik awal
jalannya cerita adalah rumah Tjoe Liang yang berlokasi di sekitar Mangga Besar.
Di rumah ini awal cerita dimulai. Rumah Tjoe Liang lah tempat terakhir Lien Nio
menghembuskan napas. Kutipan yang menunjukan latar tempat dalam cerita ini
adalah sebagai berikut.
”Tapi sala satoe gedong jang modelnja inda di Mangga Besar, masi kasi
menjala ia poenja lampoe electic...” (ibid)
Ketiga
adalah latar suasana. Latar suasana yang digambarkan dalam novel ini umumnya adalah
suasana haru. Suasana ini sangat menyelimuti cerita terutama pada saat kematian
Lien Nio. Pada saat-saat Lien Nio menghembuskan napas terakhir, Tjoe Liang, Ibu
Lien Nio, dan adik Lien Nio tak kuasa menahan sedih. Bahkan sampai beberapa
tahun setelah kematian Lien Nio, Tjoe Liang tetap sedih hatinya bila mengingat
kejadian yang pernah ia lalui bersama Lien Nio. Kutipan yang menunjukan latar suasana
dalam cerita ini adalah sebagai berikut.
“...Habislah semoea harepanja Tjoe Liang, It Biauw, dan
njonja Ong, masing-masing djadi menangis sesambatan dengan sedi.” (ibid : 12—13)
Unsur intrisik lainnya yang
terdapat dalam cerita Sesoedanja Mati
karya Koo Heng Ngo adalah tokoh.. Tokoh cerita adalah pelaku dan penderita
kejadian-kejadian yang bersebab akibat,
dan itu perlu pijakan, di mana, kapan, dan pada kondisi sosial budaya
masyarakat yang bagaimana. ( Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:301). Dilihat
dari cerita, maka ada dua tokoh yang sangat berpengaruh dalam menentukan
jalannya cerita, yaitu Lien Nio dan Tjoe Liang. Kedua tokoh ini merupakan pelaku
utama yang terlibat konflik percintaan. Jika dilihat dari jalan cerita, Lien
Nio merupakan seorang gadis yang sangat berbakti kepada orang tua. Lien Nio
bahkan rela untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya agar tidak
mengecewakan ibunya. Watak Lien Nio dapat terlihat dari kutipan berikut.
“Lien Nio ada satoe anak jang denger kata dan tjinta-bakti
pada orang toea.” (ibid: 15)
Sementara Tjoe Liang adalah pria yang rajin, gigih, dan
pekerja keras. Watak Tjoe Liang dapat terlihat dari kutipan berikut.
“...ia mempoenjai hati keras, berani, dan tida nanti
moendoer dalem ia poenja haloean.” (ibid
: 20)
Amanat yang
dapat diambil dari novel Sesoedanja Mati
karya Koo Heng Ngo begitu banyak. Jika kita melihat kembali jalan cerita novel Sesoedanja Mati maka pesan utama yang
dapat kita ambil untuk diri sendiri adalah berusahalah untuk berterus terang
meskipun itu menyakitkan. Melihat Lien Nio yang begitu tersiksa karena dirinya
yang tidak berterus terang kepada ibunya sejak awal, kita bisa tahu bahwa sikap
Lien Nio adalah salah. Seandainya ia memberitahukan bagaimana isi hatinya yang
sesungguhnya, maka tentu Lien Nio dan Tjoe Liang tidak akan tersakiti satu sama
lain.
Tindakan
yang dilakukan Lien Nio untuk menerima semua perkataan orang tuanya memang
sudah menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan oleh wanita Tionghoa. Hal ini
merupakan salah satu nilai kesopanan yang sudah diterapkan oleh bangsa Tionghoa
di Indonesia sejak dulu. Dalam buku Kultur
Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural karya P. Hariyono dijelaskan
bahwa arti kesopanan bagi orang Tionghoa adalah dengan menghormati semua
perkataan orang yang lebih tua. Sehingga tidak heran jika Lien Nio harus
menikah dengan orang yang tidak dicintainya, karena Lien Nio begitu menjunjung
nilai kesopanan dari bangsanya.
Selain itu,
dijelaskan Hariyono juga bahwa orang Tionghoa selalu menerapkan ajaran
Konfisius yang menolak kekerasan dan mendasarkan diri pada rasa saling percaya.
Ajaran Konfisius juga menunjukkan nilai-nilai yang menjauhkan diri dari
konflik. Berdasarkan hal itulah, orang Tionghoa selalu menjaga kerukunan dalam
keluarga karena tidak ingin terjadi konflik. Hal ini sesuai dengan novel Sesoedanja Mati karya Koo Heng Ngo.
Dalam novel ini, meskipun Lien Nio tidak mencintai suaminya, namun keduanya berusaha
sekuat mungkin untuk menjaga kerukunan rumah tangga agar tidak sampai terjadi
konflik. Begitulah bagaimana orang Tionghoa menjaga dua nilai kesopanan yang
dijunjung tinggi dalam kehidupannya, dan hal itu sangat terlihat dalam novel Sesoedanja Mati karya Koo Heng Ngo.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta :
Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tanojo, Edwina Satmoko. 1981. Skripsi Gelar Sarjana: Ciri-Ciri
“Bacaan Liar”. Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Hariyono, P.
1993. Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman
Menuju Asimilasi Kultural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Komentar
Posting Komentar